Terimakasih Telah Berkunjung, Jika Bermamfaat Silahkan Share/ Bagikan! dimensiardi: Filosofi Siri’, Masihkah Ada?

28 October 2011

Filosofi Siri’, Masihkah Ada?

Filosofi Siri’, Masihkah Ada?

Dalam bahasa Indonesia, kata Siri’ dimaknai sebagai ungkapan perasaan malu. Namun dalam tradisi masyarakat Makassar-Bugis Siri’ berarti sebuah upaya penegakan harga diri. Apabila dalam sebuah dialog seseorang menyisipkan kata “Siri” dalam kata-kata untuk sebuah permasalahan atau percekcokan, maka berhati-hatilah, bisa dipastikan masalah tersebut serius.

“Oe, Paentengi Siri’nu (Hei! Tegakkan harga dirimu)”. Seruan yang kini (cuma) ada dalam secarik sticker.
“Oe, Paentengi Siri’nu (Hei! Tegakkan harga dirimu)”. Seruan yang kini (cuma) ada dalam secarik sticker.

Siri atau sikap malu seperti kata nabi adalah bagian dari Iman, cocok sekali dengan filosofi hidup orang Makassar-Bugis.

Ungkapan “Punna nia’ Sirinu’, i kaumi Karaeng” yang maknanya jika engkau memiliki Siri’ maka engkau pantas di pertuan. Apabila seorang tidak lagi mempunyai Siri’ maka dia tidak lagi mendapat penghormatan. Seorang raja atau bangsawan yang sudah melupakan Siri’nya tidak pantas lagi duduk di tahtanya, dia pantas diturunkan atau bahkan dibunuh. Tidak mengherankan seorang pemimpin kharismatik seperti Kahar Muzakkar yang dicap pemberontak akan selalu dihormati orang Makassar-Bugis (Sulsel & Sulbar) karena keteguhannya mempertahankan Siri’nya dalam membela laskarnya, meskipun tidak diakui pemerintah Soekarno.







Sultan Hasanuddin bersama pendukung setianya gigih mempertahankan Siri’ dari penjajah Belanda. Sebuah perlawanan yang kemudian dicatat sebagai perang paling sengit di Nusantara. Bahkan karena keberaniannya, Belanda dengan jujur menyebutnya sebagai Haanstjes van Het Oosten atau “Ayam Jantan dari Benua Timur“.

Siri’ juga yang membawa ribuan laskar Makassar-Bugis keliling Nusantara melawan penjajah Belanda dan sekaligus menuntut balas atas kekalahan dalam perjanjian Bongaya. Karaeng Galesong di Madura, Syech Yusuf di Banten atau Raja haji Fisabililah di bumi Melayu adalah beberapa contoh.

Filosofi Siri’ pula yang membuat Daeng Mangalle beserta 200-an pengikutnya bertempur habis-habisan melawan ribuan tentara Prancis dan Inggris di negeri Siam (Thailand). Dari pada merendahkan harga diri di hadapan Raja Siam yang didukung Perancis, Daeng Mangalle lebih memilih melawan dan gugur di tembus peluru tentara Eropa.

Seorang pendeta yang melihat langsung perang Laskar Makassar yang berjumlah 200-an melawan ribuan tentara Eropa terkagum-kagum melihat keberanian anak-anak Makassar, “Seumur hidup saya belum pernah melihat ada pasukan seberani mereka ( Makassar)” kata pendeta dalam tulisannya. Seorang prajurit Eropa dengan lancangnya menendang kepala prajurit Makassar yang sekarat, dengan tiba-tiba bangun dan membunuh prajurit itu. Tidak ada yang membangunkan prajurit sekarat itu kecuali membela harga diri (Siri’nya).

Sebanyak 200-an laskar Makassar dan 1000-an Laskar Eropa yang tewas jadi saksi sejarah penebusan Siri’.


 
Mulai Luntur
Dalam perspektif modern ini, semangat siri’ sudah mulai luntur. Siri’ jaman sekarang lebih sering muncul berupa letupan kekecewaan dalam bentuk demontrasi anarkis dan tawuran mahasiswa.  Sejatinya Siri’ adalah membela harga diri untuk tujuan positif. Membela harga diri bukan demi kepentingan politik atau nafsu anarki sesaat.

Sejumlah tayangan televisi dan pemberitaan di media, sudah cukup mendiskreditkan keberanian orang Makassar-Bugis dengan kekerasan semu. Keberanian yang ditunjukkan para Mahasiswa dalam setiap bentrokan tidak lebih karena sikap emosional yang berlebihan. Bahkan dengan alasan Siri’ mahasiswa membawa parang dan badik dalam aksi unjuk rasa.  Padahal badik tidak boleh dihunuskan sembarangan, ketika badik dihunuskan mesti ada korban yang tertusuk, begitulah adat orang Makassar-Bugis.

Citra orang Makassar-Bugis kemudian rusak dan makin lekat dengan kekerasan, padahal kekerasan sangat berbeda dengan membela Siri’ atau harga diri. Bukan termasuk Siri’ bila membela pemimpin yang koruptor atau pemimpin yang menzalimi rakyat. Bukan Siri’ bila mengamuk membabi buta, memamerkan kekerasan. Sangat tepat pernyataan Sejarawan Anhar Gongong bahwa” harga diri sebenarnya identik dengan anti kekerasan. Orang berharga diri tinggi lebih mengandalkan percakapan dan dialog”.

Sebenarnya, Siri’ tidak hanya dikenal dalam wacana budaya Makassar-Bugis, tetapi juga di kalangan Suku Toraja dan Mandar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan. Bahkan Siri’ sudah merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan. Namun tanpa mengurangi eksistensi dua suku bangsa lainnya, bahwa telah lama orang-orang Makassar-Bugis memegang teguh  Siri’ (rasa malu / harga diri). Siri’ telah menjadi inspirasi dari setiap gerak langkah orang-orang Makassar-Bugis kapan dan di manapun dia berada. Sebagai inti kebudayaan, Siri’ jelas tampak dalam karakter dan kepribadian orang-orang Makassar-Bugis.

Sangat disayangkan di kekinian, kecenderungan Siri’ mengalami penyempitan makna dan makin kabur aplikasinya di tengah masyarakat Sulawesi Selatan. Siri’ kadang terlupakan dan dikesampingkan terutama dalam soal-soal pelayanan publik. Kondisi ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi. Akibatnya, orang yang dianggap sebagai pemimpin, tidak mampu lagi menghindari kelakuan yang oleh masyarakat dipandang buruk, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Makna budaya Siri’ atau harga diri ini juga mengalami pergeseran dan kadang ditempatkan pada posisi yang kurang tepat. Psikolog Universitas Negeri Makassar (UNM) Widyastuti mengungkapkan, seringnya terjadi tawuran antar mahasiswa di Makassar dipicu oleh makna kata Siri’ yang ditempatkan di lokasi yang kurang tepat. Jika salah satu mahasiswa merasa harga dirinya ternoda, langsung diselesaikan dengan kekerasan. Pemaknaan budaya Siri’ kini mulai rancu sehingga segala kebijakan yang berbeda dari keinginan mahasiswa selalu berakhir dengan perselisihan.

Makna Siri’ yang ditempatkan di lokasi yang kurang tepat diduga kuat sebagai penyebab maraknya aksi tawuran yang kerap meledak di Kota Makassar. Padahal mahasiswa yang notabene adalah kubu terdidik, merekalah yang seharusnya meluruskan makna kata Siri’, sehingga untuk setiap  masalah yang timbul, dapat diselesaikan dengan baik dengan penuh kearifan.

Budaya tawuran antar mahasiswa di Makassar seakan telah menjadi tren. Bila  kita amati di beberapa kampus, kapan satu kampus terjadi tawuran, maka kampus lain juga ikut tawuran. Bahkan rasa penasaran timbul bila tidak ada bentrokan antar Mahasiswa di Makassar. Seharusnya para mahasiswa menjadi locus of control bagi dirinya sendiri dan tidak perlu harus diredam dengan sanksi pemecatan dari pihak kampus ataupun ditangkap aparat kepolisian.

Filosofi Siri’ merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan. Menjadi inspirasi dari setiap gerak langkah orang Makassar-Bugis kapan dan di manapun dia berada. Siri’ Sebagai inti kebudayaan, jelas tampak dalam karakter dan kepribadian orang-orang Makassar-Bugis. Orang Makassar-Bugis pantang menggadaikan Siri’ (harga diri) nya untuk hidup di rantauan demi sesuap nasi. Dengan Siri’ berpadu dengan mental sekuat baja, orang Makassar-Bugis (seharusnya) mampu bekerja apa saja dalam mencari rejeki yang halal.

Kenyataannya, tak sedikit orang Makassar-Bugis yang berada di perantauan dan memiliki jabatan penting di pemerintahan yang terjerat kasus korupsi, namun gigih berkelit –lantaran tak ingin ketahuan karena malu. Jangankan itu, di Kota Makassar sendiri, korupsi bukan main hebatnya. Kota yang bertabur slogan ini, masuk 5 besar sebagai kota terkorup di Indonesia. Ini tentu sangat jauh dari filosofi Siri’. Siri’ adalah kecerdasan hati yang membungkus harga diri. Siri’ bukan keadaan dimana seseorang tidak ingin ketahuan atas perbuatannya karena dapat menggores harga diri; Siri’ adalah keadaan dimana seseorang tidak mau melakukan hal tak terpuji karena menjaga harga dirinya.

 

No comments:

Post a Comment