"Dilihat dari batiknya dan kopiah yang dipakai di kepalanya kita yakin (itu jenazah Mbah Maridjan)," kata petugas Tim SAR Yogyakarta, Suseno, saat ditemui di RS dr Sardjito, Yogyakarta, Rabu (27/10/2010). Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di dapur. Luka bakar terdapat di tubuhnya. Bajunya robek-robek.
Nama Raden Ngabehi Suraksohargo atau yang lebih terkenal dengan panggilan Mbah Mardijan melambung seiring dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi, Yogyakarta, pada 2006 lalu.
Mbah Maridjan terkenal karena sebagai juru kunci Gunung Merapi, dia tidak mau mematuhi perintah untuk turun gunung oleh Sultan Hamengkubuwono X. Akibatnya, mata dunia pun terbelalak pada sosok renta yang sangat sederhana ini.
Bahkan, saking terkenalnya pria kelahiran Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, tahun 1927 itu, Pemerintah Jerman yang saat itu sedang menggelar hajatan Piala Dunia bermaksud mengundang Mbah Maridjan untuk menghadiri pembukaan Piala Dunia 2006. Si Mbah lantang menolak. "Kalau saya ke Jerman, siapa yang mencari rumput sapi saya," tutur pria sepuh itu.
Bagaimana Mbah Maridjan setelah dikenal dunia? Apalagi Si Mbah saat ini telah menjadi ikon produk jamu "Roso-roso"! Adakah perbedaan dengan Si Mbah setelah lebih 'berada'? Ternyata tidak. Mbah Maridjan tetap seperti yang dulu, ramah, rendah hati dan selalu tersenyum menghadapi siapa pun meski belum kenal sama sekali.
"Saya ya tetap seperti ini," ujar Mbah Maridjan dengan Bahasa Jawa khasnya saat
ditemui detikcom di sela-sela kesibukannya yang terus menerima tamu di saat
musim liburan Natal dan Tahun Baru, Senin (24/12/2007) silam.
Mbah Maridjan menuturkan, pascameletusnya Gunung Marapi pada 2006 silam, banyak perubahan pada dirinya. Selain menjadi terkenal, dia menjadi ikon produk jamu yang juga membuat namanya semakin melambung.
"Tapi soal honor, itu bukan saya yang mengurusi. Tapi anak-anak saya, dan masyarakat juga menikmati hasilnya," papar pria bersahaja ini.
Pengalaman lucu pun diceritakan Mbah Maridjan saat pengambilan gambar dalam iklan tersebut. "Waktu itu saya diajari agar saya mengangkat tangan saya sambil membawa gelas dan mengatakan 'roso-roso'. Sering diulang," kata Mbah Maridjan disambut tawa para tamunya.
Karena usianya yang semakin renta, Mbah Maridjan mengaku sudah tidak kuat lagi melakukan aktivitas sehari-hari semisal berladang dan mencari rumput. "Rumput satu kali mencari biasanya bobotnya 50 kilo. Jadi pundak saya sudah nggak kuat untuk mengangkatnya," cerita Mbah Maridjan sambil tertawa.
"Kan sudah minum jamu 'roso-roso' itu, Mbah?" Mbah Maridjan hanya tertawa lebar
mendengar pertanyaan tersebut.
Sayangnya, saat itu Mbah Marijan tidak mau lagi difoto bareng dengan pengunjung. Hal ini berbeda 2006 lalu tatkala Si Mbah dengan sabar bersedia meladeni tamu yang hendak berpose dengannya.
"Nanti kalau mau difoto tembok saya sudah nggak bisa lagi menampung foto-fotonya," ujar si mbah sembari menunjukkan foto-foto Mbah Maridjan dengan berbagai pose yang terpampang di tembok rumahnya.
Namun kini, sosok sederhana dan rendah hati ini telah tiada. Mbah Maridjan menepati janjinya kepada Sultan HB IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.
Selamat jalan Mbah, di mata kami, sampeyan tetap roso!
ALASAN MBAH MARIJAN TIDAK MAU MENGUNSI
Status Merapi dinyatakan waspada mulai tadi pagi pukul 06.00. Pemerintah pun bertindak dengan mengungsikan para warga yang tinggal di sekitar gunung teraktif di dunia itu.
Namun ada satu orang yang tetap bersikukuh tinggal di rumah, Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Padahal rumahnya Dusun Kinahrejo hanya berjarak lima kilometer dari puncak Merapi.
"Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini," kata Mbah Maridjan, Senin 25 Oktober 2010.
Meski demikian, pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo ini justru meminta warga menuruti imbauan pemerintah. "Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo," kata dia.
Mbah Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian gawat.
"Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk," kata dia.
Warga juga diimbau memohon keselamatan pada Tuhan, agar tak terjadi yang tak diinginkan kalau nantinya Merapi benar-benar meletus.
Kapan Merapi meletus menurut Mbah Maridjan?
Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi, ia tak punya alat canggih seperti yang dimiliki Badan Vulkanologi. "Hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak punya kuasa apa-apa," jawab dia.
Sikap serupa ditunjukkan Mbah Maridjan ketika Merapi mengalami erupsi pada tahun 2006.
Saat itu, ia menolak untuk mengungsi meski dibujuk langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X dan dijemput mobul evakuasi. Pilihan Mbah Maridjan ditanggapi berbeda oleh masyarakat. Ada yang pro dan kontra.
Hari itu Maridjan mengatakan, dia tetap di tinggal di rumah, menepati janjinya terhadap Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengangkatnya. Sambil berdoa untuk keselamatan warga.(ywn).
sumber :
http://www.detiknews.com
http://nasional.vivanews.com